It is about free pages, Free stuff, Free image hostings, best links, most found links for share.

Romeo, Don't Cry II : 11. Badman is Dead!

ADSENSE HERE!

Penulis pemula kelahiran Bangkinang - Riau, 16 Juli 1979. Sekarang tercatat sebagai warga Gianyar - Bali. Lulusan Fakultas Ekonomi jurusan Akuntansi S1 Universitas Islam Riau. Mantan Teller di sebuah perusahaan pembiayaan, mantan koki magang di Grand Hyatt Hotel Bali dan di Nusa Dua Beach Hotel & Spa Bali. Karya-karya yang sudah terbit adalah Romeo, Don't Cry (Novel Islami, www.nulisbuku.com, 2012), dan Lo-Gue : 7 in 1 (Novel remaja, www.nulisbuku.com, 2012). FB : Firman Al Karimi II. Twitter : @ firman_alkarimi. Blog : http://firman-alkarimi.blogspot.com

Badman is Dead!Badman is Dead!

DALAM kungkungan suasana pagi yang dingin, Romeo yang duduk menyandar di dinding kamar memaksakan sebelah matanya melirik ke arah jam dinding, hampir jam sembilan. Sejak tadi, setelah kepergian Ikhsan alias Ireng, ia terkantuk-kantuk. Betapa besar godaan yang menghembusi matanya untuk tidur, sebab semalam ia memang kurang tidur karena jam kerjanya memang sampai jam satu malam, apalagi tadi beberapakali ia terbangun sebelum subuh. Tiba-tiba ia teringat janjinya pada Akiko. Ia berguling ke sisi kasur, bangkit dan duduk sesaat sekadar memulihkan secara penuh kesadarannya. Tapi rasa malas begitu cepat menghinggapinya, menghasut hatinya agar tetap berada di posisi seperti itu. Pikirannya melayang, memikirkan Ireng.
Ireng, atau Ikhsan, saudaraku... Ia berdoa, semoga Allah selalu menjaga Ikhsan dan menguatkan hatinya untuk menjalani pertaubatan. Ia juga memohon kepada Allah agar memberi kesempatan kepada Ikhsan untuk dapat memenuhi hajatnya menemui orang tuanya. Terakhir ia berharap semoga Allah selalu memberi Ikhsan kekuatan iman dalam menapaki jalan-Nya yang lurus.

Romeo masih termenung di posisinya. Namun tiba-tiba ketidaknyamanan menyusup di hatinya. Sebenarnya hamba malu mengatakannya pada-Mu, ya Allah, tapi Engkau pasti sudah mengetahuinya. Ya Allah, hamba-Mu ini memang lemah dan bodoh, tak mampu menolak ajakan seseorang untuk berpergian bersamanya, padahal jelas-jelas dia bukan muhrim hamba, bahkan tidak seakidah dengan hamba. Ya Allah, tolong ampuni kelemahan dan kebodohan hamba ini. Sungguh ya Allah, saat ini hamba sangat tidak berhasrat untuk memenuhi janji itu, tapi hamba sudah terlanjur berjanji. Tolong, ya Allah, jika pertemuan hamba dengan Akiko nanti hanya akan mendatangkan kejelekan bagi hamba, batalkanlah pertemuan itu. Ya Allah, bahkan saat inipun hamba sudah merasa bahwa kejelekan itu benar-benar akan menimpa hamba. Tolong, ya Allah, batalkan saja pertemuan itu, mohonnya pada Allah dalam hati.

Namun entah mengapa, tiba-tiba saja timbul keinginannya untuk mengambil HP-nya yang sudah cukup lama berdiam di dalam tas kecilnya, dan terakhir kali benda itu disentuhnya saat ia berada di halaman Masjid Al-A'la di Gianyar. Dengan perasaan berdebar-debar ia mengaktifkan HP itu, ternyata ada sms masuk lagi, dan Bella lagi yang mengirimkannya. "Romeo, di manapun kamu berada, tolong hubungi aku. Penting! Menyangkut masa depanmu. Aku punya bukti bahwa kamu tidak bersalah. Hubungi aku lewat wartel aja!!! Wassalam."

Romeo kembali berpikir. Bella, apa maksudnya mengatakan kalau dia punya bukti kalau aku tak bersalah dalam peristiwa pembunuhan malam itu? Ia mulai menduga-duga, apakah Bella juga menyaksikan peristiwa mengerikan itu? Dan mau menjadi saksi kunci untuk membebaskannya dari fitnahan Pak Gumarta, papanya. Tapi perasaannya segera mengatakan bahwa tidak mungkin Bella mau menghianati papanya, sebab sama saja dia mau menjebloskan manusia licik itu ke dalam penjara. Atau, mungkin juga semua ini merupakan jebakan, seperti dugaannya semula saat Bella mengirimkan sms pertama kepadanya, bisa saja Pak Gumarta yang culas itu memperalat Bella untuk mengetahui keberadaannya sehingga polisi akan dengan mudah menangkapnya.

Kebingungan seketika melanda pikiran dan hati Romeo. Tapi ia punya tempat mengadukan kebingungannya itu. Bagaimana ini, ya Allah? Hamba bingung, ya Allah. Sungguh, hamba ingin segera mengakhiri semua ini. Sejauh ini hamba merasa sudah bisa menjauhi kekelaman masa lalu, tapi hamba tidak tau sampai kapan hamba harus menjalani pelarian sebagai seorang buronan. Engkau mengetahui bahwa hamba tidak bersalah dalam peristiwa pembunuhan itu, hamba difitnah. Tolong hamba, ya Allah, sebab hanya kepada Engkau hamba menyembah dan hanya kepada Engkau hamba meminta tolong. Hanya Engkau yang bisa menolong hamba-Mu yang lemah ini. Hamba berserah diri kepada Engkau, ya Allah. Hamba percaya, Engkau pasti memberikan yang terbaik untuk hamba-Mu ini. Allahu Akbar.

Ia melirik jam lagi. Sudah jam setengah sepuluh, tapi Akiko belum datang juga, dan ia bersyukur, itu lebih baik, karena memang itu yang diinginkannya, tapi tiba-tiba perasaannya semakin tidak nyaman.

Ia baru saja hendak pergi ke kamar mandi saat ia mendengar suara ketukan di pintu kamar kosnya. Ugh, akhirnya Akiko datang juga, keluhnya. Padahal ia sangat berharap Akiko tidak bakal datang.

"Ya, sebentar!" teriak Romeo. Tak sabaran amat, sih. Suara ketukan itu semakin keras dan tak beraturan, sangat mengganggu pendengarannya, memaksanya menghambur menuju pintu, dan begitu ia membuka pintu, tiba-tiba tiga orang pria masuk dan mendorongnya dengan kasar hingga ia terjajar ke dinding.

"Ireng mana?!" tanya seorang pria berperawakan tegap dan berambut cepak.

Romeo langsung mengira bahwa ketiga orang itu adalah polisi yang sedang memburu Ireng alias Ikhsan. "Ireng tak ada, belum kembali sejak kemarin," ia mencoba berbohong. Biarlah Ikhsan aman menjalani lembaran hidup barunya.

"Heh, kau siapa?! Teman, saudara atau anak buahnya!" tanya seorang pria lainnya, ia terlihat memasukkan tangannya ke balik jaket kulitnya.

"Aku temannya," jawab Romeo dengan nada bergetar, karena pria itu sudah menarik tangannya dari balik jaketnya, dan dengan sangar mengacungkan pistolnya ke arah Romeo. Ya Allah, benda itu lagi!

"Kamu pasti tau, Ireng pergi kemana?!" sambung temannya yang berkacamata hitam.

"Maaf, Pak, Ireng tak biasa menyebutkan tujuannya kalau dia mau keluar, jadi saya memang benar-benar tidak tau dia pergi kemana, sungguh Pak," Romeo terus berusaha menutupi jejak Ireng alias Ikhsan dan berharap ketiga orang bengis itu memercayai ucapannya dan segera berlalu dari tempat itu. Tapi harapannya langsung memudar.

Pria pemegang pistol menatapnya tajam. "Kalau begitu, sekarang kau ikut kami!"

"Ikut? Kemana?" tanya Romeo cemas, sebab kalau orang-orang itu benar polisi maka tamatlah episode pelariannya, karena di kantor polisi identitasnya akan dengan mudah dibongkar. Ia kehabisan akal untuk mencoba meloloskan diri karena tidak melihat ada celah dan peluang untuk kabur, ketiga orang itu begitu rapat mengepungnya. Ya Allah, hamba serahkan semua pada-Mu. Hamba pasrah, ya Allah.

"Jangan banyak tanya! Ayo ikut!"

Belum sempat Romeo menjawab, tiba-tiba dua orang pria itu telah mencengkram lengannya, sakit, dan menyeretnya dengan kasar keluar kamar. Ia terus diseret oleh kedua pria itu, sedangkan pria lainnya yang bertubuh kekar berjalan di belakangnya sambil menempelkan moncong pistolnya yang dingin ke punggungnya, membuatnya pasrah menerima kemungkinan terburuk yang akan menimpanya. Ia berjalan terseret-seret sambil memutar bola matanya mencoba mencari pertolongan di depan kamar-kamar yang dilaluinya, tapi percuma, para pekerja-pekerja malam penghuni kosan itu semuanya masih pada tidur. Akhirnya Romeo pasrah saja didorong paksa memasuki mobil para penangkapnya. Lengannya terasa lumayan nyeri akibat cengkeraman kedua pria yang mengapitnya itu, dan kecemasan telah menguasainya secara penuh.

Mobil itu bergerak meninggalkan jalan di depan mulut gang, dan beberapa detik kemudian Romeo melihat sebuah mobil Toyota New Camry metalik berpapasan dengan mobil yang membawanya, dan ia masih sempat mengalihkan pandangannya ke belakang. Akiko! Dia rupanya, batinnya saat melihat wanita itu turun di depan mulut gang masuk ke rumah kosnya. Dia hanya terlambat beberapa menit!

"Heh, kunyuk! Jangan menoleh!" bentak salah seorang pria yang mengapitnya.

Romeo hanya bisa menggerutu dalam hati. Kunyuk pala lu penyok, enak aja ngatain orang kunyuk. Uhhh, mana mulutnya bau lagi, mungkin orang ini habis nenggak minuman beralkohol, dan mulai membuatnya ragu bahwa orang-orang yang menangkapnya adalah petugas kepolisian.

Mobil yang membawanya terus melaju kencang menyusuri jalanan turun naik di Ubud. Romeo menyempatkan matanya memandangi jenjang-jenjang sawah yang menggunakan sistem irigasi Subak, sebuah sistem pengairan yang menjaga kelangsungan usaha pertanian masyarakat Bali sejak ratusan tahun yang lalu, di lereng bukit. Indah nian. Lumayan, sedikit mengurangi ketegangannya. Hingga akhirnya mobil yang membawanya mendekati sebuah rumah yang menurutnya sangat unik dan eksotis. Maklum, rumah itu berbentuk seperti sebuah kapal kuno yang cukup besar dan sedang terdampar di tepi jurang, sebuah karya seni yang menakjubkan! Tapi semakin membuatnya bingung. Mengapa aku dibawa ke sini? Apa orang-orang ini mau mampir dulu ke rumah temannya?

"Ayo keluar!" lagi-lagi Romeo diperlakukan dengan kasar, tubuhnya didorong ke luar mobil.

Romeo hanya bisa menggerutu dalam hati menerima kekasaran orang-orang itu. Ia hanya berusaha menguasai diri supaya tidak terpancing melakukan hal-hal bodoh yang menjurus nekat, seperti yang pernah dilakukannya dulu saat ia hendak diringkus polisi di rumah Pak Gumarta.

Romeo didorong menaiki anak tangga kayu, masuk ke dalam rumah itu. Lagi-lagi ia harus mengakui selera seni pemiliknya, sebab penataan letak benda-benda bernilai seni di dalam rumah itu benar-benar membuatnya kagum. Belum pernah ia melihat rumah dengan kondisi seperti itu, benar-benar penuh dengan beraneka barang seni bernilai tinggi. Ckckck... Ini rumah atau galeri seni? batinnya berdecak kagum di tengah kecemasannya. Dan ia berharap semoga saja kondisi rumah itu juga mencerminkan sikap pemilik rumah yang lebih ramah, minimal tak akan memperlakukannya dengan kasar. Tapi ia masih bingung, kenapa ia dibawa ke tempat itu?

Dan kebingungannya segera terjawab, ketika seorang pria berwajah oriental dengan tatapan mata sedingin es, turun dari lantai atas, mendekatinya.

"Mr. Ichiro!" ketiga pria yang menangkap Romeo itu serempak membungkuk, tampak begitu menghormati pria berwajah dingin itu.
Haaah, Mr. Ichiro??? Mata Romeo terbelalak, ia sama sekali tidak menyangka bahwa orang-orang yang menangkapnya itu ternyata bukan polisi, tapi anak buahnya Mr. Ichiro, sang mafia Yakuza! Apakah hal ini harus kusyukuri atau kusesali? Ah! Sama aja. Apa bedanya ditangkap sama polisi atau gembong mafia. Sama gawatnya! Kini kecemasannya bercampur dengan kegamangan.

"Siapa dia?" tanya Mr. Ichiro, masih dengan tatapan dinginnya.

"Dia teman Ireng, Bos," jawab anak buahnya.

Mr. Ichiro menggeram. "Teman Ireng? Heh, stupid Idiot! Aku menyuruh kalian menangkap Ireng, bukan cecunguk ini!"

Romeo mendengus dalam hati. Orang Jepang ternyata tau cecunguk juga.
"Ireng tidak ada Bos," sahutnya anak buahnya yang lain. "Makanya kami bawa anak ini ke sini. Dia pasti tau Ireng ada di mana, sebab terlihat jelas ada tanda kebohongan di wajahnya. Dia pasti berusaha menyembunyikan Ireng!"
Aku memang berbohong, tapi untuk kebaikan. Apalagi ternyata kalian adalah penjahat, bukan polisi. Tau dari tadi, sudah kukerjai kalian.
Pandangan Mr. Ichiro menusuk tajam ke arah Romeo. "Heh, kamu! Ireng mana?!"

"Saya tidak tau, dia sudah pergi dari kemarin, tidak tau perginya kemana," jawab Romeo.

"Heh, cecunguk! Kamu jangan bohong, ya? Apa perlu dipaksa dulu biar mengaku! Mau mati!" gertak si Jepang sengit.

Lagi-lagi Romeo hanya bisa menggeram dalam hati, tidak rela dikatakan cecunguk untuk kedua kalinya. "Sungguh, saya benar-benar tidak tau Ireng pergi kemana," namun ia terus berusaha menutup jejak Ireng alias Ikhsan. Tubuhnya semakin bergetar, degup jantungnya semakin sulit diatur, bahkan kecemasan yang menyelimutinya saat ini melebihi seperti yang dirasakannya ketika dikepung lima orang polisi saat di rumah Pak Gumarta. Maklum, kalau polisi mungkin sedikit lebih beradab dalam memperlakukan orang karena polisi harus mengikuti prosedur penangkapan yang taat aturan, lain halnya dengan penjahat beringas yang sedang mengintimidasinya saat ini, mereka mana peduli dengan segala macam tetek bengek aturan, dan mereka bisa saja langsung mencelakainya.

Mr. Ichiro mendekati Romeo, sedikit menggeram, dan terus memancarkan sorot dingin matanya. "Lebih baik kamu kasih tahu di mana Ireng berada, dan saya akan memperlakukanmu dengan baik, oke?"

Kecemasan Romeo semakin memuncak, karena tidak mungkin ia mau memberitahukan bahwa Ikhsan sudah meninggalkan Bali, dan konsekuensinya, hal itu bisa saja membuatnya akan menerima kemungkinan terburuk dalam beberapa hitungan detik ke depan. Ia hanya tetap bungkam, karena mulutnya memang seperti terkunci tanpa mampu digerakkan. Ia mencoba memutar pikirannya, mencari akal untuk menyelamatkan diri dari situasi menakutkan ini. Romeo melihat tidak ada celah, kedua pria itu tetap mencengkeram erat kedua lengannya, sedangkan Mr. Ichiro dan seorang anak buahnya berdiri rapat di depan.
Aku harus berbuat apa sekarang. Apa aku harus berbuat nekat lagi? pikirnya, ragu memainkan adegan nekat yang dulu berkali-kali dilakukannya. Ia terus mencari akal. Kedua tangannya jelas tak bisa diharapkan karena sedang dicengkeram erat. Namun kakinya masih bebas. Jurus kecepatan dan kesigapan kaki. Wah, boleh juga tuh, akhirnya ide itu muncul juga. Sekarang ia benar-benar siap untuk beraksi lagi karena ia tidak mau membuang nyawa percuma di tempat itu. Dan ia memercayakan nasibnya kepada takdir Allah.

Romeo terus memperkirakan posisi lawan dan peluangnya mengatasi lawan. Mr. Ichiro berada tepat di depannya, tapi seorang anak buah si Jepang itu sedang memegang pistol... dan pistol itu bisa menyalak sebelum ia mampu merebutnya. Ia terus menimbang-nimbang peluangnya. Ia harus bertindak cepat sebelum orang-orang jahat itu menyakitinya, karena kalau mereka sempat menyakitinya, hal itu akan semakin membuatnya lemah dan akhirnya ia tak bisa melawan lagi, ia bisa ke laut, superman is dead!Tapi aku belum habis! Ya Allah, hamba serahkan semua-nya pada-Mu. Hamba yakin, Engkau tidak akan mungkin membiarkan hamba-Mu yang setiap hari mengucapkan kalimat La illaa ha illallaah dicelakai oleh orang-orang zalim ini. Hamba akan melawan. Ya Allah, tolong hamba. Keberanian sudah mulai memenuhi dirinya.

"Heh, Stupid idiot! Bicara!" bentakan Mr. Ichiro mengejutkan Romeo, tapi sekaligus membuat nuansa hangat mulai menjalarinya, kekuatan sudah menumpuk di kakinya, dan setelah menyelesaikan tugasnya, kekuatan itu akan berpindah di kedua sikunya. Ia menyerahkan hasil rencananya itu kepada Allah.
Insya Allah, rencana ini berhasil!

Mata Romeo tetap fokus pada satu objek sasaran. Ayo Jepang, lebih mendekat lagi. Nah, sedikit lagi, ini saatnya, maaf... Bugh!!! Kaki kanannya mengayun cepat ke arah sudut rapat ujung paha atas Mr. Ichiro. Si Jepang itu terpekik tertahan sejenak, matanya membelalak menakutkan, spontan mempertemukan kedua lututnya, dan terguling di lantai kayu berwarna cokelat mengkilap dengan nafas tersengal.
Allahu Akbar! Sorak batin Romeo. Detik berikutnya. Dan Ini adalah adegan ternekat selanjutnya. Ia menggeliatkan kedua lengannya sehingga terlepas dari cengkeraman kedua pria yang sedang terpana menyaksikan aksi nekatnya yang membuat si Jepang rubuh ke lantai dengan mata mendelik. Bahkan keduanya tidak menyadari ketika pada detik berikutnya, kedua siku Romeo bolak-balik ke arah belakang, bergantian menghantam telak wajah mereka. Kedua pria itu terjajar ke belakang, dan Romeo segera berguling ke sisi dinding untuk menghindari seorang lawan yang berpistol, yang juga terkejut melihat aksinya. Romeo tidak menyia-nyiakan kesempatan sekejap itu, ia menghambur menuju ruang depan, terasa begitu jauh, dan... "Dor!!!" desingan peluru terasa berdengung di telinga kirinya, spontan mengganggu keseimbangan tubuhnya, membuat ia terhempas ke sebuah etalase kaca yang berisi pajangan beraneka barang seni. Tangan Romeo bergelayutan di sisi etalase, dan melihat ketiga orang pria itu berlari ke arahnya seraya berulang kali melepaskan tembakan. Romeo berguling lagi ke arah sebuah patung batu di sebelahnya ketika peluru-peluru yang berdesingan itu memporak-porandakan etalase kaca dan menghancurkan isinya.

Alhamdulillah. Romeo berhasil menghindar. Tapi, "Dor!!!" kembali sebuah tembakan menghantam dan menghancurkan patung batu tempatnya berlindung. Penglihatannya mengukur pintu keluar sekitar empat meter lagi untuk dicapainya, dan ketiga orang itu semakin mendekatinya.

"Bunuh saja cecunguk itu!" terdengar teriakan keras Mr. Ichiro.

Romeo terus merapat di dinding dan memberanikan diri berguling ke arah pintu, berhasil, tapi tak ayal lagi, tubuhnya terus terguling meluncur deras menuruni tangga kayu setinggi hampir dua meter dari tanah itu, dan... "Bugh!" pinggul kanannya menghantam sebuah bongkahan batu hitam antik sebesar anak kerbau yang menunggu di sisi dasar tangga, sakit sekali. Romeo memaksakan tungkai kakinya berdiri, namun rasa nyeri serta merta mendera pinggulnya, ia terduduk pasrah, menyandar di samping batu besar itu dengan pandangan mata berkunang-kunang, dan, "Dor!!!" letusan itu menghantam permukaan batu, beberapa inchi dari sebelah pipinya, membuatnya terbatuk karena menghirup udara yang bercampur debu kasar akibat tembakan yang menghancurkan puncak batu tempatnya menyandar. Ia ingin lari lagi namun rasa nyeri masih menggigit pinggulnya.

Tapi tiba-tiba pandangannya yang samar menangkap sebuah mobil Toyota New Camry metalik memasuki halaman, Akiko! Wanita itu terlihat keluar dari mobilnya, sesaat Akiko terperangah melihat Romeo, tapi tak bersuara. Romeo memaksakan dirinya berdiri, lalu dengan tubuh terhuyung sambil menahan sakit, ia berlari kecil ke arah Akiko, berhasil mencapainya dan menyandarkan tubuhnya di sisi Toyota New Camry.

"Romeo! Ada apa?" itu kata terakhir Akiko yang didengar Romeo.

"Tahaaan!!! Jangan tembak!" terdengar teriakan panik Mr. Ichiro.

Tapi terlambat, takdir bicara lain, "Dor!!!" Akiko rebah ke tanah, terkulai dengan luka di bawah telinga kanannya, mengucurkan darah kental. Anak buah Mr. Ichiro yang melepaskan tembakan terperangah dengan kedua lengan lemas, tanpa sadar melepaskan pistolnya hingga jatuh ke tanah. Seketika Mr. Ichiro memekik histeris, berlari dengan cepat ke arah Romeo dan Akiko. Romeo masih menyandar di sisi mobil, shock, terperangah dan lemah. Mr. Ichiro segera meraih putrinya, memeluknya erat sekali, dan pria itu segera meracau dengan bahasa yang sama sekali tidak dimengerti Romeo. Setelah memuaskan dirinya melolong dan meracau, Mr. Ichiro merebahkan tubuh putrinya dengan begitu pelan ke tanah, membalikkan badannya, merogoh sesuatu di balik jas hitamnya, membuat nafas Romeo seketika tercekat melihat benda di genggaman pria itu.

Romeo Pasrah. Ya Allah, apakah di sini akhir kehidupan hamba-Mu ini, apakah Engkau akan memanggil hamba lebih cepat ke sisi-Mu.
Tapi Mr. Ichiro malah berdiri dan mengacungkan pistolnya ke arah ketiga orang anak buahnya yang masih berdiri termangu di bawah tangga. Sesaat Mr. Ichiro kembali berteriak, "Kalian membunuh anakku!!!" lalu, "Dor! Dor! Dor!" tiga kali letusan tembakan itu sudah cukup untuk merebahkan ketiga anak buahnya ke tanah, bersimbah darah dengan tubuh tertembus peluru, Badman is dead! Tapi kemudian dengan garang Mr. Ichiro mengarahkan pistolnya ke arah Romeo, lalu... "Dor!!!" Refleks Romeo berguling berusaha menghindari, tapi ternyata ia tetap tak mampu mengelak karena ia merasakan nyeri yang amat sangat menyiksa bawah ketiaknya, tubuhnya tiba-tiba terasa amat dingin, dingin sekali. Aku tertembak. Ia hanya bisa tergolek di tanah dengan tatapan samar ke arah langit biru. Ya Allah, apakah sudah saatnya hamba menghadap-Mu, La illaa ha illallaah.

Romeo pasrah menunggu kematiannya. Tapi masih dalam pandangannya yang samar, ia melihat Mr. Ichiro mendekati Akiko, putrinya yang sudah terbujur kaku, memeluknya sesaat, kemudian terdengar lagi racauan pria itu seraya menempelkan moncong pistol di pelipis kanannya. "Dor!!!" letusan pistol yang menempel di pelipisnya membuat pria itu rebah ke tanah di sisi putrinya.

Tubuh Romeo melemah drastis, akalnya seperti kehilangan fungsi. Ya Allah, apakah yang sedang hamba alami saat ini adalah hal yang nyata, atau hamba sedang berada dalam kungkungan halusinasi. Pandangan matanya semakin kabur, dan akhirnya kelam, saat ia mendengar suara pekikan sirine mendekati tempat itu. Akhirnya polisi-polisi itu akan menangkapku juga, inilah akhir pelarianku. Aku sangat lelah.

Sementara itu di suatu tempat yang tidak terukur letaknya dari tempat Romeo berada, di dalam sebuah Masjid, seorang pemuda berjubah putih tersentak dari I'tikaf-nya. Ya Allah, saudara hamba dalam bahaya. Ya Allah, hamba mencintai-Mu dan Engkau mencintai hamba, tolong antar hamba ke tempat saudara hamba yang sedang terancam bahaya.

Tubuh Romeo terkulai lemah, pandangannya sudah memasuki kegelapan, tapi tiba-tiba ia merasakan sentuhan seseorang di kedua bahunya, lembut. Dan tiba-tiba tubuhnya seperti melayang terbang, entah kemana.

Romeo terbatuk lemah saat merasakan sentuhan lembut itu lagi, menghampiri luka di bawah ketiaknya, dan membuatnya terpekik pelan, cuma sedetik, lalu matanya terbuka, penglihatannya masih kabur tapi mulai berangsur normal. Apakah aku bermimpi? Atau aku sedang berada di alam lain, apakah aku sudah mati? Dan di depannya, ia melihat seorang pemuda yang begitu dikenalnya, tersenyum teduh, dan masih dengan pakaian putih bersihnya. Alif???

"Romeo saudaraku, jangan kuatir. Kau sudah aman sekarang."

Romeo lega, akhirnya ia mendengar suara lembut dan syahdu itu lagi, "Alif, apakah aku sudah mati?" suaranya serak, dan tenggorokannya terasa pedas.

"Belum, kau masih hidup, saudaraku," sahut Alif. "Sebentar, aku akan bermohon dulu kepada Allah untuk memulihkan kondisi tubuhmu."

Alif menengadah ke langit, telapak tangan kanannya menempel lembut di bawah ketiak Romeo. Romeo merasakan hawa sejuk sesaat, lalu berganti dengan jalaran hawa hangat memenuhi bawah ketiaknya.

"Alhamdulillah, Allah berkenan menyembuhkan lukamu ini," ucap Alif sambil memperlihatkan sebuah benda logam tumpul di telapak tangannya. "Jangan bangkit dulu, sekarang giliran pinggulmu. Bismillah..."

Akhirnya Romeo merasakan tubuhnya lebih segar sekarang, pandangan matanya benar-benar terang, dan ia mendapati dirinya sedang bersandar di batang sebuah pohon, di depannya tampak aliran sungai kecil beriak tenang. Alhamdulillah, terima kasih, ya Allah. Tak terkira puji syukur yang hamba haturkan pada-Mu. Allahu Akbar.
"Alif, kita lagi ada di mana? Dan bagaimana kau bisa menemukan dan menolongku," tanya Romeo seraya menarik tubuhnya sehingga agak tegak menyandar di batang pohon. Keanehan masih menyelimutinya.

"Aku tidak tau apa nama tempat ini, tapi semua ini terjadi atas kehendak Allah, hanya itu jawabanku saat ini. Sekarang sudah saatnya kau kembali ke kota asalmu, Pekanbaru, kebenaran sedang menunggumu di sana," jelas Alif.

"Kembali ke Pekanbaru? Sekarang? Bagaimana caranya?" heran Romeo. Ini hanya mimpi. Aku sedang berhalusinasi.

Alif tersenyum. "Aku, kita, akan meminta tolong kepada Allah. Tolong jangan bertanya lagi. Sekarang pusatkan pikiranmu hanya pada Allah. Pasrahkan dirimu di hadapan-Nya. Yakini Allah sedang menyaksikan semua ini dan berada sangat dekat sekali dengan kita, menghibalah pada-Nya, dan dengan izin serta kuasa-Nya, kita berdua akan beralih tempat ke tujuan yang kita maksud. Ayo mulai..."

Romeo menyerahkan semua urusannya kepada Allah. Ya Allah, hamba-Mu yang bodoh ini sungguh tidak mengetahui segala rahasia-Mu. Hamba juga tidak mengerti apa yang sedang hamba alami saat ini, ataupun apa yang akan hamba lakukan sesaat lagi. Hamba hanya bisa berpasrah diri pada kuasa dan kehendak-Mu. Ya Allah, apapun kehendak-Mu akan hamba turuti. Allahu Akbar.

Matanya terpejam, tubuhnya terasa sangat ringan, dan segera kemudian ia tidak merasakan apa-apa lagi selain kehangatan yang menyelimuti sekujur tubuhnya. Aku melayang lagi...[]

Bersambung ke Bagian 12 : Manusia Sufi*Membaca Novel hanya selingan, membaca Al-Qur'an lebih UTAMA*


Halaman Orisinil disini

ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Copyright © About Much Link Found in This Blogspot. All rights reserved. Template by CB