It is about free pages, Free stuff, Free image hostings, best links, most found links for share.

Terorisme: Benarkah Bukti Cinta Kepada Allah?

ADSENSE HERE!
Terorisme masih ada. Begitulah ungkapan yang muncul dibenak saya, ketika beberapa waktu lalu polisi berhasil menangkap segerombolan teroris yang mencuri emas disebuah toko emas. Rasa cemas muncul kembali. Itu hal yang wajar, mengingat rentetan kejadian pembunuhan dan pemboman sekian tahun yang lalu. Ribuan orang meregang nyawa, hanya akibat sebuah ideologi radikal.  Para teroris itu menganggap ide-ide merekalah yang paling benar dan ide-ide lain diluar itu salah dan bisa merusak umat manusia, karenanya harus diperangi. “Inilah perang dijalan Allah melawan musuh-musuh Allah”, begitulah kata mereka. Sampai disini, mungkin muncul pertanyaan dibenak kita: mengapa membunuh orang dianggap perang dijalan Allah? Apakah Allah yang yang memberi nafas kehidupan ini membisikkan ditelinga mereka untuk membunuh makhluk yang Ia ciptakan sendiri? Inikah jalan yang benar? Benarkah mereka (para teroris) mencintai Allah?

Pada awal mula Allah menciptkan manusia dari “debu tanah”. Lalu, Ia “menghembuskan nafas kehidupan”, sehingga hiduplah manusia pertama (adam) itu. Manusia pertama itu pun menjadi ciptaan yang diciptkan seturut gambar dan rupa Allah. Allah pun menciptakan makhluk-makhluk lain untuk mendiami bumi ini. Tetapi, makhluk-makhluk lain itu tidak Ia “hembuskan nafas kehidupan”. Selanjutnya, dalam perjalanan waktu manusia pertama ini merasa kesepian. Ia tidak memiliki pasangan atau teman yang sepadan dengan dirinya. Allah mengetahui itu, lalu menciptakan seorang perempuan (hawa) dari tulang rusuk manusia pertama itu. Maka kini, manusia pertama itu pun memiliki pasangan/teman yang sepadan dengan dirinya.

Menurut kisah, manusia pertama ini akhirnya jatuh dalam dosa. Ular yang licik menggoda hawa untuk makan buah yang dilarang oleh Allah. Buah itu adalah satu-satunya ciptaan Allah yang dilarang oleh Allah untuk dimakan manusia pertama, sedangkan yang lainnya boleh digunakan. Setelah memakan buah terlarang itu, maka terbukalah pikiran mereka, dan mereka pun sadar bahwa mereka telanjang. Allah mencari mereka, tetapi mereka malah menghindar karena takut pada Allah.

Kisah manusia pertama ini setidaknya menjelaskan beberapa hal. Pertama, manusia adalah gambar dan rupa Allah, karena ia diciptkan berbeda dari ciptaan yang lain. Pada ciptaan yang lain, Allah tidak menghembuskan nafas kehidupan, sedangkan pada manusia Ia hembuskan nafas kehidupan. Kedua, kesepadanan antara manusia pertama dan pasangannya mau menjelaskan sebuah relasi khusus, relasi antar subjek. Manusia pertama melihat pasangannya sebagai subjek yang memiliki kepribadian yang harus dihargai dan dihormati. Hubungan ini tidak terjadi antara manusia pertama dan makhluk ciptaan yang lain. Relasi yang terjadi antara manusia pertama dan ciptaan yang lain adalah relasi antara subjek (manusia pertama) dan objek (makhluk ciptaan yang lain). Karena itu, Allah mengatakan pada manusia pertama: “semua yang ada dibumi ini bisa kamu gunakan”. Kata-kata itu menunjuk pada makhluk ciptaan lainnya, selain pasangannya. Dari manusia pertama ini kita belajar bahwa manusia lain adalah subjek yang harus dihargai dan dihormati. Ketiga, jatuhnya manusia pertama dalam dosa dikarenakan keraguan mereka kepada Allah sebagai pihak yang “memberi”. Manusia pertama itu ragu akan kesungguhan hati Allah untuk “memberi”, karena itu ia pun memutuskan seturut kehendaknya untuk “mengambil”. Hal ini terlihat jelas dalam diri hawa yang memakan buah terlarang, karena digoda oleh ular. Hawa meragukan kesungguhan hati Allah untuk “memberi”, karena itu ia pun memutuskan untuk sekehendak hatinya “mengambil” dan memakan buah terlarang tersebut. Hawa “mengambil” dan memakan buah terlarang yang sebenarnya hanya Allah sendirilah yang berhak untuk “mengambilnya” dan memberikannya. Dosa adalah tindakan manusia yang tidak lagi mau hanya “menerima” apa yang “diberi” Allah, tetapi mulai ingin “mengambil” bagi dirinya sendiri. Dosa adalah tindakan sekehendak hati kita untuk “mengambil” sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Allah untuk “mengambilnya”. Padahal, berhadapan dengan Allah, sikap dasar manusia seharusnya berserah diri secara total, siap “menerima” apa yang “diberi” oleh Allah. Cinta manusia kepada Allah pun berarti penyerahan diri secara total kepada Allah.

Penjelasan mengenai manusia pertama itu bisa menjadi dasar bagi kita untuk menilai apakah aksi para teroris berjuang dijalan Alllah dengan cara-cara yang keji itu betul-betul merupakan bukti cinta meraka kepada Allah yang mereka imani? Pertama, ide-ide teroris yang melihat orang lain yang tidak sejalan dengan mereka sebagai musuh merupakan sebuah bentuk relasi antara subjek dan objek. Para teroris tidak lagi melihat orang lain sebagai subjek yang harus dihargai dan dihormati karena mendapat “hembusan nafas kehidupan” yang sama dari Allah, tetapi melihat orang lain sebagai musuh, seolah-olah orang lain itu hanya seonggok “debu tanah” tanpa “hembusah nafas kehidupan”. Sampai disini kita pun kembali bertanya: betulkah mereka mencintai Allah? Jika mereka mencintai Allah, maka mereka tidak akan mungkin “mengambil” nyawa orang lain yang sama-sama memiliki “hembusan nafas kehidupan” dari Allah; mereka tidak akan membunuh orang lain yang “sepadan” dengan mereka. Kedua, tindakan para teroris membunuh nyawa orang lain, seturut telaah kisah manusia pertama merupakan bentuk dosa. Begitu pula orang lain yang membunuh (”mengambil”) nyawa orang lain. Membunuh adalah tindakan “mengambil” nyawa orang lain seturut kehendak hati kita. Itu adalah perbuatan dosa, karena dosa adalah tindakan manusia yang tidak lagi hanya mau “menerima apa yang “diberi” oleh Allah, tetapi mulai ingin “mengambil” bagi dirnya sendiri. Sampai disini, nampak jelas terlihat kemungkinan bahwa para teroris itu memiliki pemahaman yang keliru mengenai cinta kepada Allah. Bagi mereka, cinta kepada Allah dapat dibuktikan dengan “mengambil” nyawa orang lain yang menjadi musuh mereka. Padahal, cinta kepada Allah yang sebenarnya adalah suatu bentuk penyerahan diri secara total kepada Allah; membiarkan Allah “menghembuskan” rahmatNya kepada kita. Cinta kepada Allah pun berarti tidak seenak hatinya kita “mengambil” sesuatu yang sebenarnya menjadi hak Allah untuk “mengambilnya”.  Seandainya, dalam kondisi apa  pun yang terjadi dalam kehidupan ini, mereka mau sekuat tenaga berserah diri secara total kepada Allah, terus menanti kemurahan hati Allah yang selalu “memberi” dan tidak seenak hati “mengambil” bagi dirnya sendiri, maka cinta kepada Allah berada dalam jalur yang benar. Rahmat Allah itu menuntut manusia berserah diri untuk menantinya, bukan malah memaksakan rahmat itu harus segera datang dengan cara “mengambil” sendiri.


Halaman Orisinil disini

ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Copyright © About Much Link Found in This Blogspot. All rights reserved. Template by CB