It is about free pages, Free stuff, Free image hostings, best links, most found links for share.

Tristan, Bakeci dan Kehidupan Jalanan

ADSENSE HERE!

Proud to be a Muslim | Manusia "miskin," yang "rakus" Ilmu! | ========================= Blog Gratis Untuk Bagi - Bagi Ilmu : www.opaninfo.tk | http://sofyanmsalim.blogspot.com/ |

Hari ini adalah hari pertama terjun ke ‘lapangan real’ mempraktekan semua yang telah ‘ku pelajari semasa kuliah dulu. Kegiatan ini bukan sekedar praktek demi mencari nilai tambah yang kemudian terpajang dengan huruf A besar pada tabel KHS Semester-ku. Di sekitar perempatan ‘pusat kota’, di kolong jembatan, di lorong – lorong sempit dengan dinding grafik penuh makna pada destinasi gedung atau rumah kumuh, telah terjadwal dalam 1 minggu kegiatan.

Wajah – wajah nelangsa yang kadang menjadi garang mungkin akan menjadi santapan empuk. Mungkin juga mereka akan terusik dengan kehadiranku, namun aku tak mahu tahu, aku harus bisa bertanya ‘mengapa’ hingga timbul ‘apa’ yang meng-konstruksi ‘eksistensi’ mereka. Entahlah, apakah mereka ‘eksis’, atau sekedar ‘pengacau’ gradasi hitam dan putih.

***

Setelah mempersiapkan semua keperluan operasi dan tetek-bengeknya, aku mulai melangkah melintasi ruang makan dan menyambar sebotol aqua dalam lemari es serta sepotong roti berisi telur yang sudah di buatkan Bunda sebelum matahari pagi mulai menanjak. Aku melangkah keluar dan terhenti di beranda, mendapati Bunda sedang asik tenggelam dalam rutinitasnya; membersihkan lembaran – lembaran daun mangga yang tak hentinya mengotori halaman.

Aku melantunkan salam dan mencium punggung tangan Bunda dengan khidmat, kemudian berlalu dari pandangan Bunda. ‘Ekspedisi’ kali ini akan menguras energi dan emosi. Jiwa dan Raga, bersatulah! Tujuan hari ini adalah mencari anak – anak jalanan dan meng-interview mereka tanpa intervensi agar data menjadi original seperti adanya.

***

Lama dalam kendaraan membuat keringat hangat membasahi tubuhku, masih pagi, namun ‘ruang’ kendaraan ini begitu panas, mungkin energi dari otak – otak ‘robot’ di sekitarku telah menyatu dan membuat ruang segi empat ini seperti di padang pasir. Rutinitas konstan yang stagnan. Rabb, aku tak ingin terikat! ‘Ku putuskan untuk turun di perempatan depan kadaton sultan ternate, lalu menghampiri anak – anak jalanan. Taman dekat pantai terlihat indah di pandang mata, namun semua itu seakan tak berarti ketika mata memandang anak – anak itu tertidur pulas di atas campuran semen, batu, air dan pasir, membentuk objek tempat duduk melingkar. Tak mau mengganggu mimpi indah mereka yang mungkin hadir saat mereka terlelap saja, aku memutuskan untuk duduk sedikit jauh dari mereka, sambil menunggu mereka terbangun.

***

Tepat pukul 9.43 mereka mulai terbangun kemudian meregangkan tangan, kaki dan tulang leher; stretching kecil – kecilan ini terlihat mengasikkan. Aku membetulkan posisi gagang kaca mataku kemudian mengikat rambutku yang mulai membuat gerah batang leher. Sepintas virus ‘enggan’ melintasi memori folder ‘minderku’, namun syukurnya antivirus keberanian dengan cepat melintasi semua saraf otak, melahirkan output; langakah kaki yang mantap menuju anak – anak jalanan yang baru terbangun itu.

“Ehhm…, dek, sebelumnya maaf, ya, sudah mengganggu. Saya boleh ‘ngobrol’ dengan kalian?” setelah berada tepat di depan ‘tempat tidur’ mereka, aku langsung melontarkan kalimat ‘ngemis’ meminta kesediaan mereka untuk di- interview. Mereka memelototiku, seakan - akan aku adalah makhluk asing yang tiba – tiba hadir tanpa di undang dan langsung memeras mereka!

“Berapa imbalannya, Mba?” ternyata mereka yang ‘memerasku’, mereka seakan tahu tujuanku. “Mau berapa, dek?” aku melempar ‘proposal’, “Kalau ditanya seperti itu, kami jadi bingung Mba, emang Mba berani bayar 50 juta?” aku hanya tersenyum—malu mendengar sindiran halus tersebut.

“Mba bisanya segini—.“ aku langsung menyodorkan dua lembar 100-an ribu kepada mereka.

“Lumayan! Tapi di tambah ‘makan’-minum jika kami lapar, plus rokok, ya?” tawar mereka.

“Oke, deh.” jawabku, yakin.

“Kami siap ‘ngobrol’, Mba. Tapi sebelum itu belikan kami rokok, ‘makan’ dan minum dulu, ya!” dengan berat hati, aku mengeluarkan satu lembar 50-an ribu. Yang kemudian di sambar salah satu anak jalanan itu, ia kemudian pergi menuju warung dekat ‘jalanan’, yang dari jauh wajah penjaganya seperti tersiram sebotol minyak goreng, mungkin itu warung jajan favorit mereka.

“Ehhm, nama kamu siapa dek?” Aku mulai bertanya pada anak yang bersamaku.

“Aku Tristan, tapi sering di panggil Setan kecil!”

Dua kata terakhir Tristan sedikit mengagetkanku! “Terus yang pergi belanja namanya s i a p a ?” aku lanjut bertanya.

“Ehmm.., Sebenarnya dia nggak punya nama lahir, tidak seperti Aku. Tapi sama Bang Garang, dia di panggil Bandit Kecil!”

Wahat? Sungguh gila si Bang Garang, memberi nama seenak jidatnya.

“Nama Mba?” Tristan bertanya.

“Saya Asyiah Maria, tapi panggil Maria saja.” Tristan tersenyum kemudian menyatukan ke-2 ujung bibirnya sembari manggut - manggut; tanda paham!

“Kalau boleh tahu, siapa Bang Garang?” Aku mulai mengeksplorasi Tristan!

“Bang Garang adalah Bandit besar yang baik hati; pemimpin dinasti kami!” Tristan menjawab singkat.

“Bandit baik hati?” dengan mata layaknya seorang hunter yang mengejar buruannya, aku lanjut bertanya.

“Iya, dia seperti dua sisi koin, kadang baik kadang ‘bandit!’ Walau kerja kami selama seharian tidak berbuah hasil, dia tetap memberi kami makan, namun jika kami ‘curang’ dan ketahuan Bang Garang, kami akan di siksa layaknya binatang!” dengan senyum segan, Tristan menerangkan; singkat!

Nafasku seakan tertahan mendengar 4 kata terakhir Tristan; Kami akan di siksa layaknya binatang! “Berapa umur kamu, Tristan?” pertanyaan berlanjut,

“Aku.., kalau nggak salah 14 tahun!” ragu - ragu Tristan menjawab.

Tak lama kemudian si Bandit Kecil pun datang bergabung dengan kami. Dia kemudian memberikan minum serta dua bungkus roti pada Tristan. Aku terkejut ketika si Bandit Kecil mengembalikan uang sisa belanjanya. Dengan wajah enggan bercampur salut aku kemudian mengambil sisa uang tersebut!

“Ban—.“ Bandit Kecil langsung memotong kata yang hendak menjadi kalimat,

“Panggil saya B A K E C I, Mba!” ow…, wahat the hell ; but wahatever-lah! Batinku.

“Bakeci, berapa umur kamu?” dengan raut penasaran aku menelusuri!

“Kalau menurut Bang Garang, umurku sekitar 12 tahun, tapi menurutku tambah satu tahun lagi kayaknya!” sambil mengunyah roti, Bakeci menjawab singkat.

“Ehmm, kenapa kalian meminta imbalan ketika saya meminta ‘kalian ngobrol?’” Tristan terlihat buru – buru menelan roti yang mungkin baru separuh di kunyah, sembari memaksanya melewati tenggrokan dengan bantuan air.

“Kami nggak mau waktu kami terbuang sia – sia tanpa hasil Mba. Aksi kami di bawah terik M A T A … H A R I …, se-mata – mata demi uang. Bukan matre, tapi hanya mencari makan doing!” Dengan raut puas karena berhasil menelan makanannya, Tristan menjelaskan.

“Kalian mau nggak jika suatu waktu hidup kalian di rubah pemerintah?” dengan wajah penasaran aku memburu jawaban mereka.

“Jika mereka serius, kenapa tidak, Mba!” lagi – lagi Tristan yang menjawab. Sementara si Bakeci, sambil membakar rokok, ia hanya mengangguk mengiyakan pernyataan seniornya.

“Mmm.., saya pengen dengar lagu yang sering kalian nyanyikan ketika beraksi. Bisa nggak?” pertanyaanku di sambut sukacita oleh mereka. Seakan – akan mereka telah menunggu permintaan itu keluar dari mulutku.

“Sangat Boleh, Mba. Tapi jangan nangis, ya! Kebetulan kami belum ngambil guitar di markas. So, nyanyianku akan diiringi tepuk tangan Bandit Kecil saja, ya, Mba?” aku mengiyakan permintaan dengan sisipan canda itu. Dalam hati aku membatin, keterbatasan ternyata bukan penghalang untuk membuat sebuah karya. Tristan terlihat memberi aba – aba pada Bakeci.

***

Kemarin kami tertawa

Kemarin kami bahagia

Namun kemarin adalah kemarin

Karena sekarang belum tentu sama

.

Di bawah terik matahari

Di depan puluhan mata

Mereka hanya berkaca

Memandang penuh curiga, kami meminta bukan tanpa usaha.

.

Pada setiap perempatan, terpajang tiang perhentian sementara

Disana kami beraksi demi sesuap nasi

Walau sedikit yang mengerti, kami tetap syukuri

Sebab kapan lagi perut kami terisi, jika tanpa bantuan koin atau selembar rupiah

Hidup terus berlanjut, walau kami layaknya benalu yang terasing di negeri sendiri

.

Kemarin kami tertawa

Kemarin kami bahagia

Namun kemarin adalah kemarin

Karena sekarang kami tersiksa, menahan lapar dan dahaga

***

Lrik yang di lantunkan Tristan begitu indah tertangkap telinga, kesedihan yang terkandung seakan tak ada, sebab mereka menyanyikannya dengan irama yang ceria. Aku kemudian mengapresiasi usaha mereka, dengan menyodorkan uang 100-an ribu, demi membuat mereka lebih bahagia di hari ini. Bakeci menyambar uang itu dengan sukacita, menandakan begitu bahagianya ia akan kehadiranku.

Tak terasa perbincangan kami sudah berlangsung berjam – jam, dan aku masih belum puas mendengar kisah hidup mereka. Namun aku telah membuat kesepakatan dengan mereka untuk bertemu besok hari. Mereka telah menentukan waktu dan tempatnya. Kali ini syarat mereka sedikit ringan, sebab kata mereka aku sudah menjadi sahabat mereka. Namun begitu, mereka butuh uang makan dan uang setor untuk di berikan ke Bang Garang. Aku menyanggupinya dan kami akan bertemu besok hari.

Aku pamit undur diri, membawa cerita berharga yang akan ‘ku satukan dengan serpihan kisah lainnya.

Sampai jumpa sahabat jalananku…! Semoga hari ini adalah hari paling bahagia sepanjang hidup kalian dan akan terus begitu selama – lamanya…


Halaman Orisinil disini

ADSENSE HERE!

No comments:

Post a Comment

Copyright © About Much Link Found in This Blogspot. All rights reserved. Template by CB