It is about free pages, Free stuff, Free image hostings, best links, most found links for share.

Showing posts with label Ilalang. Show all posts
Showing posts with label Ilalang. Show all posts

Jeritan Ilalang (36)

(36)Aku menunggu Set, Pemimpin Redaksi di ruang lobby. Mengobrol dengan satpam. Suasana asing sedikit menggangguku, ada perasaan takut yang berkecamuk. Entah apa yang akan terjadi, terjadilah. Kuharap ini adalah sebuah tindakan yang benar. Kalau saja Sip tidak berlaku seperti  itu, aku tak perlu klarifikasi ke kantor pusat yang jauh di luar kota ini. Seakan aku ini menjadi virus dan kotoran yang menjadi kesalahan dalam kehidupan ini.

Hampir empat jam aku menunggu Set, dengan perasaan tak menentu. Untung saja di kantor pusat ini, tak banyak yang mengenalku. Satu-satunya temanku Jy, tak ada soalnya sedang melakukan liputan di luar negeri. Kalau dia ada, tentu saja aku ingin dia menemani di sini.

Menjelang maghrib Set datang, dengan sedan mewahnya. Masuk ke lobby dengan wajah dingin. Aku menyapanya, dan begitu melihatku, dia sedikit kaget. Dia tersenyum, syukurlah. Mungkin karena aku datang jauh dari Jakarta, kemudian dia bersikap ramah. Lalu dia minta ijin untuk melaksanakan shalat maghrib. Dan akan menemuiku setelah itu. Dia shalat lama sekali. Kupikir, pasti orang yang alim, shalatnya saja lama banget.

Kami kemudian mengobrol di ruang pertemuan. Rasanya sulit sekali untuk memulainya. Aku mencoba menguasai diri agar tidak terbawa emosi. Set kemudian mulai menanyakan tentang kabar Jakarta. Termasuk perkembangan politik yang sedang terjadi. Terus berbincang sampai akhirnya aku mengakui bahwa kedatanganku tidak sepengetahuan Sip. Dengan alasan, karena aku datang untuk meminta keadilan atas perilaku Sip selama ini.

“Sudah hampir setengah tahun, saya tak diajak bicara, Pak,” kataku.

“Apa persoalannya?” tanyanya.

“Nggak tahu Pak, yang jelas dia membenci saya,” kataku.

“Itu tidak betul,” sergahnya.

“Yah, mungkin hanya perasaan saya saja,” ujarku pelan.

“Sebetulnya kalian ini kenapa?”

“Kalian siapa, Pak?”

“Kamu sama Sip…”

“Saya merasa tidak ada apa-apa, setiap hari bekerja seperti biasa, tetapi Sip selalu bersikap aneh kepada saya…”

“Dia bilang, kamu ini kurang produktif,” katanya.

“Pak Set kan tahu, saya kalau bekerja seperti apa, tetapi saya memang merasakan, dia berusaha merekayasa agar saya terlihat tidak produktif,” jawabku.

“Begitukah?” wajah tua itu berkerut.

“Saya di kantor tidak pernah mendapat penugasan, selalu dianggap tidak ada, saya merasa sudah diperlakukan tidak adil. Teman-teman yang lain diangkat saya tidak, dia pernah janji kalau saya akan diangkat, tetapi janji itu tinggal janji belaka,” ujarku.

“Kemarin usulan pengangkatan, tidak ada namamu,” katanya.

“Itulah Pak, makanya saya kesini untuk mengadukan masalah yang sedang saya hadapi ini,” keluhku.

“Kalau begitu, nanti akan saya tanyakan lagi,” jawabnya.

“Lalu bagaimana soal perlakuannya yang selalu tak adil itu?”

“Saya coba peringatkan dia,” tegasnya.

“Terima kasih, Pak. Pertemuan inipun sebetulnya saya rahasiakan pada Sip,” tambahku.

“Baik, ini hanya akan rahasia kita berdua, saya tak akan beritahu dia,” uajrnya.

“Terima kasih, Pak.”

“Sekarang pulanglah, dan bekerjalah kembali…”

“Baik, Pak.”

***

Bersambung...


Halaman Orisinil disini

Jeritan Ilalang (35)

(35)“Aku capek, Wang,” keluhku suatu malam pada Awang.

“Kenapa lagi?”

“Tadi Jy datang, ingat Jy? wartawan senior dari pusat,” kataku.

“Ada berita apa?”

“Berita buruk, di pusat Sip sudah ngotot ingin memecatku,” ujarku sambil rebahan di sisinya.

“Tenang saja, kamu kan sudah kerja hampir lima tahun, tak mungkin memecatmu, lagian apa kuasanya Sip, dia kan hanya kepala biro…”

”Dia bisa saja mencari-cari alasan, untuk memecat wartawan yang tak disukainya. Teman-teman sebelumnya, yang kena PHK, rata-rata dipecat dengan alasan yang tak jelas, dia sebetulnya alat…”

“Begitu ya?”

“Iya, mereka berusaha disingkirkan dan dianggap beban,” tambahku.

“Lalu menurutmu harus bagaimana?”

“Entahlah…”

“Siapa sih pimrednya?”

“Set, orangnya Sip juga.”

”Bagaimana kalau kau ke kantor pusat dan menemuinya?”

”Apa perlu, Wang?”

“”Berusaha kan tak ada salahnya,” jawabnya.

“Iya ya…”

”Mungkin dengan menceritakan semua yang terjadi, kerumitan ini akan berlalu,” tambahnya.

“Apa yang harus aku katakan?”

“Terus terang saja soal semua perilaku Sip padamu, selama ini.”

”Boleh aku pergi?”

”Ya… boleh, sehari dua hari tak apa.”

“Kau sungguh baik,” aku memeluknya.

“Karena aku sangat mencintaimu,” katanya merayu.

“Masih begitu?”

”Tetap begitu, meskipun kamu tak mencintaiku,” katanya.

“Dari mana kau tahu?”

“Karena, kalau kau mencintaiku, pasti kau akan mengatakannya kepadaku…”

”Hehehe…”

“Sampai hari ini, biarpun kau istriku, kau belum mencintaiku, kamu menyayangiku hanya sebagai sahabat, iya kan?”

Aku memeluknya lagi.

“Menikah tak harus dengan orang yang dicintai, bisa juga dengan sahabat, yang penting dia orang baik…”

“Andi, kenapa kamu tidak belajar mencintaiku?”

“Apakah aku harus mencintaimu ?”

“Ya, karena kamu adalah istriku, bagaimana perkawinan ini akan berjalan tanpa cinta?”

“Selama ini tak ada masalah kan?”

”Tidak sih, tetapi kalau kau tak mencintaiku, aku takut akan kehilangan kamu, mengapa cinta itu masih buat orang lain, bukan untukku, please, cintailah aku, sayangku…”

”Semua akan berproses…”

”Itu hanya alasanmu, kamu tak pernah mau belajar,” ujarnya lagi.

“Orang Jawa bilang : Witing tresna jalaran saka kulina, cinta itu proses yang berjalan,” kataku.

“Aku tak perlu ungkapan-ungkapan, aku hanya ingin kamu mencintaiku,” tuturnya.

“Ya udah, aku janji mau belajar mencintai kamu,” kataku.

Dia pun tak sabar menciumi aku.

***

Bersambung...


Halaman Orisinil disini

Copyright © About Much Link Found in This Blogspot. All rights reserved. Template by CB